Menyembuhkan Luka Inner Child Demi Mengasuh Anak yang Bahagia

Menyembuhkan Luka Inner child

"Kita healing yuk Bestieee.. Ke Bali, Bromo, atau ke mana lah, butuh healing banget nih gue, capek sama kerjaan." Sounds familiar nggak sih? Banyak kerjaan butuh healing, banyak tugas kuliah butuh healing, jangan-jangan banyak tagihan paylater juga malah cari healing, hahaah. Padahal healing sendiri artinya penyembuhan, sebuah istilah dalam dunia kesehatan mental saat seseorang sedang berusaha memulihkan diri dari 'luka-luka' akibat pengalaman masa lalu dan trauma yang ada dalam dirinya. 


Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan dan belum terselesaikan ini bisa menyebabkan 'luka' pada sisi inner child kita. 'Luka' yang mungkin hadir tanpa kita sadari, atau kalaupun kita mengetahuinya, kita memilih untuk melupakan 'luka' itu. Hmm, bukankah setiap luka yang tidak diobati dengan benar akan membekas? Atau, bisa-bisa malah semakin parah. 


Wait, apa itu inner child? Dan apa hubungannya dengan kehidupan kita sekarang? Inner Child adalah sebuah ekspresi dari sisi masa kecil kita, semua pengalaman hidup berupa kebahagiaan, kepuasan, kesedihan, kekecewaan, dan ketakutan yang akan mempengaruhi sikap kita setelah dewasa. Setiap kita memiliki inner child, dan saat si anak kecil dalam diri ini masih terluka, kita cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang egois, pemarah, defensif, atau malah pemalu dan mudah insecure, meski kehidupan kita saat ini sudah jauh lebih baik serta nyaman.

Lalu bagaimana cara menyembuhkan inner child yang terluka? 

Beruntung kemarin saya mengikuti Workshop "Bertemu dengan Innerchild" yang diselenggarakan oleh Komunitas Indonesian Social Blogger (ISB). Acara keren ini menghadirkan dua pembicara Diah Mahmudah, S. Psi, Psikolog dan Dandi Birdy, S. Psi, pemilik Biro Psikologi Dandiah. Workshop ini membuka pemahaman saya tentang pentingnya menyembuhkan inner child dan memperbaiki masa lalu, bukan untuk mengubah takdir tapi untuk mengubah respon kita terhadap takdir.

Diah Mahmudah, S. Psi, Psikolog
Ibu Diah Mahmudah, S. Psi, Psikolog


Facing my fear: A broken home fatherless child

Sebelum menceritakan isi dari Workshop bersama Bu Diah, saya boleh curhat dulu yaa. Dulu saya pernah terjebak stigma 'jangan selalu mengingat masa lalu' yang membuat banyak orang justru menekan luka inner child mereka, baik tanpa sengaja (represif) atau dengan sengaja (supresif). Mereka melupakan tanpa benar-benar menyembuhkan, alhasil saat bertemu dengan pengalaman yang serupa masa lalu di usia dewasa, respon yang muncul adalah mekanisme pertahanan dalam bentuk anger, egosentris, demanding, atau trust issue.

Luka inner child saya terjadi akibat perpisahan orangtua. Saya menjadi fatherless child yang berusaha menghidupi diri sendiri dan mama dengan segenap kemampuan. Sekolah, kerja, nabung, sekolah, kerja, nabung, gitu aja terus dari pagi ke pagi. Saya memilih mengabaikan semua luka dan terus berlari. 

Pada akhirnya saya berhasil menjadi kuat, sanggup bayar kontrakan, nyicil kendaraan dan gadget demi hidup nyaman, pergi liburan, dan bertemu laki-laki yang saya cintai lalu menikah. Alhamdulillah, tenyata saya nggak memiliki trauma terhadap pernikahan. Rumah tangga kami berjalan baik, meski di tahun-tahun pertama dihiasi banyak pertengkaran, selalu terselesaikan berkat kebucinan kami kepada satu sama lain.

Tapi masih ada yang mengganjal, sesuatu yang justru baru bisa saya validasi setelah bertahun-tahun menikah. Reaksi saya saat jauh dari suami kadang nggak masuk akal. Misalnya saat suami nggak mengangkat telepon saya atau belum menjawab chat lebih dari 10 menit, saya akan langsung merasakan kepanikan yang ditandai dengan jantung berdetak cepat, keringat dingin, juga gemetar. Saya nggak marah, tapi ketakutan.

Apalagi sejak suami mengalami kecelakaan di tahun 2012, reaksi saya makin menjadi-jadi, bukan cuma gemetar dan keringat dingin, saya juga sesak napas, mual, hingga muntah-muntah, lalu menangis. Kejadian ini masih berulang sampai sekarang meski tingkat kepanikannya tidak separah dulu. Mungkin karena suami bisa memahami apa yang saya rasakan, biasanya setelah pulang beliau akan memeluk saya, minta maaf, dan case closed.

Menyembuhkan luka inner child

Belakangan anak-anak juga mulai hapal kelakuan saya, saat ayah mereka di luar kota dan saya mulai mewek tanpa sebab, mereka paham kalau ibunya ini sedang 'mencari' ayahnya. "Bunda kangen ayah? Sini aku peluk, aku kan mirip ayah." Padahal ayahnya baru pergi satu hari :)

Apa saya cemburu atau takut suami bersama perempuan lain? NGGAK, saya nggak punya alasan untuk cemburu. Selain suami ikhlas mengijinkan saya memasang aplikasi pelacak lokasi di kedua smartphone-nya, beliau juga nggak pernah mengunci smartphone-nya, saya bebas membaca isinya kapanpun saya mau. Beliau juga sering mengajak saya bertemu teman-temannya, mulai dari teman kantor sampai teman SD. Saya benar-benar nggak punya kesempatan untuk curiga dan mengeluh. 

Saya menyadari punya abandonment issue, sebuah perasaan takut kehilangan atau ditinggalkan. Sepertinya karena saya pernah ditinggal papa, laki-laki yang paling saya kagumi, saya hormati, sekaligus cinta pertama saya. Dan saat ada suami yang bisa mengisi posisi papa sebagai provider dan protector, anak kecil dalam diri saya menolak kehilangan sosok itu lagi.

Saya tahu ada cara untuk meyembuhkan inner child yang masih terluka. Semoga dalam waktu dekat ini saya mampu (entah bagaimana caranya) menjumpai gadis kecil di dalam diri saya, memeluknya, dan mengatakan, laki-laki yang kami cintai sekarang sangat berbeda dengan yang kami cintai dulu, God has answered all our prayers through this man, so stop worrying me and be happy :')

Menyembuhkan luka inner child


Inner child wound is an unfinished issue, so finish your unfinished!


Udahan curhatnya yaa, kita kembali ke workshop kemarin, yang saya highlight dari penjelasan Bu Diah adalah, setelah menikah, pasangan dan anak-anak yang paling merasakan dampak dari luka inner child kita. Makanya penting sekali memiliki hubungan yang sehat dengan diri sendiri sebelum menjalin hubungan dengan pasangan. 

Untuk pasangan yang sudah memiliki anak, jika luka inner child masih ada dalam pengasuhan, bisa mengakibatkan bentrok anak versus 'anak'. Sisi anak kecil dalam diri kita yang masih terluka akan kesulitan menghadapi tantangan pengasuhan parenting, akibatnya kita jadi mudah marah, otoriter, atau malah terlalu permisif. Akibatnya, kita akan meneruskan rantai luka inner child ini kepada anak-anak kita. 

Seperti yang dijelaskan Ibu Diah, ada 7 Tema Luka Pengasuhan:
  1. Unwanted child atau anak yang tidak diharapkan kehadirannya.
  2. Bullying yang berawal dari rumah
  3. Sibling rivalry atau kompetisi antar saudara kandung untuk mendapatkan perhatian orangtua.
  4. Helicopter parenting yang terlalu melindungi dan permisif pada anak.
  5. Parent way yang terlalu otoriter.
  6. Broken home.
  7. Anak terlantar di rumah mewah.

Poin 4 dan 7 cukup menggelitik saya, ternyata orangtua yang provide everything ke anak pun bisa memberikan unfinished inner child yang akan mempengaruhi ego state si anak saat dewasa. Eh, apa lagi ini ego state? 

Ego state adalah pikiran, perilaku, dan perasaan yang membentuk kepribadian seseorang dalam satu waktu. Setiap individu memiliki 3 ego state yang bisa mengendalikan kita saat harus mengambil keputusan atau bersikap.
  1. Child Ego State: Sikap, pikiran, dan perasaan yang merupakan perwujudan dari masa anak-anak, yaitu free child yang spontan dan ceria, adaptive child yang penurut dan pasif, dan maladaptive/wounded child yang suka melawan dan mengeluh.
  2. Adult Ego State: Sikap, pikiran, dan perasaan yang merupakan tanggapan langsung dari pengalaman masa kini, misalnya sikap rasional, realistis, dan percaya diri.
  3. Parent Ego State: Sikap, pikiran, dan perasaan yang diambil dari orangtua atau figur orangtua, misalnya critical or punishment parent yang suka menuduh serta otoriter., dan nurture parent yang selalu menyemangati, mendukung dan memahami anak.

Orang dewasa yang didominasi oleh sisi free child bisa saja kesulitan bersikap rasional dan masih kekanak-kanakan. Sebaliknya individu yang berada dalam sisi adapative child bisa menjadi sosok yang insecure, sering bersikap overshare dan flexing (superiority feeling), atau malah minder dan pasif (inferioty feeling).

Tubuh dan jiwa kita adalah satu sistem, tubuh yang menjadi saksi atas semua trauma jiwa yang kita alami sejak masa kanak-kanak, maka saat kita masih memiliki luka pengasuhan masa lalu, kita akan kesulitan bertumbuh (growing) sebelum berusaha menyembuhkan (healing).

Healing adalah suatu proses menemukan kembali luka masa lalu dan memafkan si penyebab luka (forgivesness), bangkit dari rasa sakitnya (empowering), dan akhirnya mampu bersyukur serta memberikan respon yang tepat saat pengalaman serupa hadir kembali (grateful). Nah, semoga kita semua dimampukan mencapai proses ini yaa, menemukan setiap inner child yang terluka, menyembuhkannya, dan membahagiakannya. 

By the way, kalau kamu merasa capek dengan kerjaan kantor lalu healing dengan belanja di mall atau plesiran ke Bali, itu bukan healing tapi refreshing, bestiee.. Mencari kesenangan agar merasa lebih nyaman, bersifat sementara untuk membuatmu 'segar', tapi nggak menyelesaikan masalah, malah bisa nambahin masalah kalau refreshing-nya didanai paylater, hahaah.

4 komentar:

  1. Meskipun kisah berbeda aku tahu rasanya takut kehilangan seperti apa. Semoga selalu berbahagia ya Mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, doa yang sama untuk Mak Irfa yaa :)

      Hapus
  2. Ya Allah Mak Yo hebat, kuat. Aku baru tahu kisah msa kecil mak Yo. Alhamdulillah ya ketemu suami yg baik dan setia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, yang pergi diganti yang lebih baik, bener-bener Allah Maha Penyayang

      Hapus

Terima kasih sudah berkomentar dengan baik ya temans, maaf sementara saya moderasi dulu :)